Akhirnya muncul lagi mood untuk mengisi blog yang sekian lama di-anaktiri-kan karena kesibukan. Kebetulan saya sedang asyik membaca 1 buku yang membahas tentang bahasa Indonesia dan ingin membaginya dengan para pembaca. (tumben teolog “nyasar” ke ranah lingua). Artikel ini saya ringkas dari tulisan Nathanael Daldjoeni yang pernah dimuat dalam Rubrik Opini Kompas, 13 Februari 1996. Selamat menikmati.
Meskipun Indonesia sudah terlepas dari penjajahan Belanda selama setengah abad, jumlah kata-kata Belanda yang tertinggal di sini ada 5.000-an. Jumlah tersebut saya temukan dalam buku tulisan Dr. Vandeputte berjudul Bahasa Belanda (Stichting Ons Erfdeel, Den Haag, 1987) hal. 57. Selain menguraikan seluk beluk bahasa Belanda, buku tersebut juga menguraikan sejarah perkembangannya dari abad ke abad serta peranannya dalam pergaulan antar bangsa di dunia.
Seorang wisatawan Belanda juga bersaksi bahwa selama berkunjung di Indonesia, ia selalu mendengar kata-kata yang berasal dari bahasanya sendiri, seperti Koran, rekening, kuitansi, porsekot, los, atret, pas, twedehan, dan perlop. Juga di rumah sakit masih dipakai sebutan pasien, suster, operasi, sal, injeksi, bludrek, behandel, verdah(nir)infeksi. Heran lagi sewaktu ia menonton televise: orang Indonesia makin suka mengucapkan daah, papa, mama, om dan tante, sebaliknya bibi dipakai untuk memanggil wanita pembantu rumah tangga.
Yang ia sulit mengerti ini: mengapa panggilan untuk semua kucing di Indonesia selalu Poes, sedangkan anjing-anjing masih diberi nama Pleki (dari Vlekkie) meski tak ada belangnya sama sekali, atau Broni meski warna bulunya putih mulus. Padahal, ia pernah membaca bahwa Presiden Soekarno pernah menganjurkan agar nama Belanda, apalagi yang diberi bentuk the, dihapus saja, seperti Tientje, Marietje, Butje (dari Broertje). Sampai-sampai Kepulauan Sunda Ketjil (Kleinne Sunda Eilanden) diritul lewat perintah Menteri Pendidikan Mr. Moh. Yamin menjadi Nusa Tenggara. Flores tak berhasil diubah menjadi Nusa Bunga setelah diterima alasan kuat bahwa Flores berasal dari bahasa Portugis.
Katabelece
Jangankan di bekas jajahannya, di Jepang saja, tulis Vandeputte, masih tersimpan kata-kata yang berasal dari bahasa Belanda. Itu karena Belanda pernah bercokol di Pulau Decima (1639-1853) sambil memperkenalkan peradaban Barat kepada bangsa Nippon. Malah pengetahuan dari Eropa hingga kini disebut kelompok ilmu Oranda. Kata-kata yang berasal Belanda, misalnya biiru (= bir dari bier), gomu (= setip karet, dari gom), ingki (= tinta, dari inkt), mesu (= pisau, dari mes), supoito (= semprot, dari spuiten) dan tarapu (= tangga, dari trap).
Ditunjukkan pula kata-kata Belanda yang, setelah diserap oleh bahasa Indonesia, dapat berubah maknanya. Kattebelletje, misalnya, diindonesiakan menjadi katabelece yang artinya ‘kata peringatan’. Drs. Katiman dari Universitas Gajah Mada karena itu pernah usul lewat Kedaulatan Rakyat agar ejaan jangan katabelece, melainkan katebeletje karena, menurut aslinya, istilah kattabelletje berasal dari kat (kucing) dan bel (klintingan).
Seekor tikus akan menggigil jika tiba-tiba mendengar bunyi klintingan kucing. Begitu pula seorang bawahan merasa takut sewaktu menerima suatu “surat sakti” dari atasannya atau tokoh yang berwibawa. Agar ia selamat dari akibat-akibat yang tak diinginkannya, imbauan yang tertera dalam surat sakti tadi dipenuhi segera. Pikirnya, siapa tahu dengan cara itu nasibnya akan baik.
Panggilan Oom
Adapun panggilan om sebagai pengganti paman atau paklik ada ceritanya sendiri. Di zaman Hindia Belanda, oom dalam keluarga Jawa hanya berlaku bagi paman yang berpendidikan bahasa Belanda; begitu pula tante adalah pengganti bulik. Oom dan tante tak diberlakukan untuk pakde atau bude, seperti dalam bahasa Belanda. Anehnya, meski tak tahu bahasa Belanda, pria dari Ambon atau Minahasa bisa dipanggil oom.
Bagi Belanda, oom dan tante juga berlaku bagi kakak dan adik dari nenek. Pernah di sekitar tahun 1970, orang segan dipanggil oom atau tante. Ini bukan karena mereka berjiwa nasionalis, tetapi akibat merajalelanya para oom senang dan tante girang di perkotaan.
Sekarang panggilan om diobralkan di jalan raya. Bagi tukang becak, mereka yang dulunya dipanggil bah, koh, dauke, juragan, ndara, mas bei, semuanya menjadi om, demi mudahnya.
Kata Marginal
Di bagian akhir tulisannya, Vandeputte membahas kata pungutan di dalam bahasa Indonesia, yang tak bersifat internasional, tetapi khusus Belanda. Itu terdapat dalam segala bidang kehidupan; misalnya erpah (erfpacht: hukum tanah), palem (palm: tanaman), ritsleting (ritssluiting: pakaian), kopling (koppeling:teknik mesin), saklar (schakelaar: pelistrikan), buncis (boontjes: pangan), sokbeker (schokbreker: kendaraan bermotor).
Juga ada kata-kata majemuk, gabungan kata pungutan, seperti indehoi (bercumbu dalam rumput kering/ in het hooi), indekos (dari in de kost: mondok dan ikut makan), poswesel (postwissel: kini sudah dikenai hukum Diterangkan Menerangkan/DM menjadi weselpos). Akan tetapi, hukum itu belum dikenakan pada yang lainnya, misalnya, banjir kanal (dari bandjir kanaal, mestinya kanal banjir), es teh, es sirop (dari ijs thee, ijs stroop, mestinya menjadi teh es dan sirop es).
Sebagai penutup disebutkan adanya kata-kata pungutan marginal, yang tak bisa ditemukan dalam kamus Belanda. Contohnya Hotperdom (Godverdom; dari God verdoeme mij; semoga Allah menghukum saya), serta kakus (dari kakhuis, rumah tempat untuk berak/kakken). Di waktu dulu belum ada WC sehingga di rumah bagian belakang ada kakusnya. Secara tradisional, orang Jawa dulu ber-WC di kebun. Menurut kamus, tempatnya disebut jumbleng. Atau jika berkenan, ia pergi sebentar ke kali untuk plunglap. Ini masuk kata marginal, jadi jangan Anda cari dalam kamus Jawa.