Mereformasi Kristologi: Dia Tidak Mati untuk Dosa-Dosaku
Oleh: Uskup John S. Spong
(Uskup Episkopal dari Newark, A.S.)
"Paham kayu salib sebagai pengorbanan bagi dosa-dosa dunia
adalah ide barbar yang didasarkan pada suatu
konsep primitif tentang Tuhan yang harus ditolak." [1]
----------
[1] Tesis No.6 dari Dua-Belas Tesis: Seruan untuk Reformasi Baru.
Dari: http://www.dfms.org/newark/vox30599.html#voice
Oleh: Uskup John S. Spong
(Uskup Episkopal dari Newark, A.S.)
"Paham kayu salib sebagai pengorbanan bagi dosa-dosa dunia
adalah ide barbar yang didasarkan pada suatu
konsep primitif tentang Tuhan yang harus ditolak." [1]
Pada bulan Mei 1998, ketika saya menayangkan di Internet
Duabelas Tesis untuk diperdebatkan, yang diambil dari buku
saya "Why Christianity Must Change or Die", saya tidak mengira
betapa hebat responsnya. Perdebatan itu disambut dan dikutuk,
diikuti dan dihindari oleh orang tak terhitung banyaknya.
Tesis-tesis itu dikhotbahkan secara positif dan secara negatif
di keuskupan ini, di Katedral St. Paul di London, di
Australia, Kanada, Afrika Selatan dan Selandia Baru. Respons
paling emosional adalah terhadap Tesis No.6, yang berkaitan
dengan penafsiran terhadap kayu salib dan peranan Yesus dalam
drama keselamatan, yang di situ saya mempertanyakan
keadekuatan kalimat: "Yesus mati untuk dosa-dosaku."
Kalimat itu begitu sering digunakan dalam sejarah Kristiani
sehingga menjadi seperti mantra. Maksudnya, diulang-ulang
tanpa penjelasan, seolah-olah maknanya sudah jelas dengan
sendirinya. Tidak boleh dipertanyakan atau diperdebatkan.
Sekadar dikemukakan berulang-ulang tanpa henti. Perayaan
Ekaristi didasarkan padanya; banyak lagu-lagu pujian kita
mencerminkannya. Namun, bagi alam pikiran modern, jika
dianalisis, kalimat ini hampir tidak ada artinya sama sekali.
Kadang-kadang kalimat keramat ini diperluas hingga mencakup
apa yang hanya dapat digambarkan sebagai fetisisme terhadap
darah yang ditumpahkan Yesus di kayu salib.
Kuasa yang luar biasa telah dikenakan kepada darah "suci" itu.
Orang Kristen sampai bicara tentang efek penyucian dari
siraman darah itu. Sebuah lagu pujian yang saya alami dua kali
selama Minggu Suci menyatakan "God on Thee Has Bled" ["Tuhan
Menumpahkan Darah Atasmu"]. Kematian Yesus dikatakan merupakan
sesuatu yang dituntut oleh Tuhan: suatu tebusan, suatu kurban
yang dipanjatkan kepada Tuhan, suatu pembayaran yang dituntut
oleh Tuhan bagi dosa-dosa dunia, harga yang harus dibayar
untuk memperoleh penebusan, yang adalah pengalaman bersatu
dengan Tuhan. Dalam penelitian saya, saya menyimpulkan bahwa
bahasa ini --"Yesus mati demi dosa-dosaku"-- adalah distorsi
penuh-kekerasan dari makna Yesus. Paham itu memberikan kepada
saya suatu Tuhan yang sadistis dan haus darah. Suatu Tuhan
yang kehendaknya harus dipenuhi dengan pengurbanan manusia
bukanlah Tuhan yang kepadanya hati saya tergerak untuk memuja.
Itu paham yang sangat buruk. Lagipula, konsep ini menjadi
begitu normatif di dalam pengajaran iman kita, sehingga banyak
orang merasa, jika paham tentang "karya penebusan" Yesus ini
tidak diterima, maka tidak ada lagi yang tersisa dari
Kristianitas.
Namun, saya yakin, justru kebalikannya yang benar. Bagi saya
jelas, kalau kita tidak mengekspos kualitas barbar dari
tafsiran kuno terhadap makna kematian Yesus dan terhadap Tuhan
yang dikatakan menuntutnya, dan menghapuskan keburukan
spiritual ini dari kehidupan Judeo-Kristiani, maka
Kristianitas tidak punya masa depan. Saya tidak percaya,
manusia modern akan tertarik kepada suatu Tuhan yang
kehendaknya harus dipenuhi dengan kurban manusia Yesus di kayu
salib. Jika Kristianitas menuntut paham tentang makna kematian
Yesus ini, saya tidak akan menganut iman ini lagi. Tetapi oleh
karena sifatnya yang telah tertanam secara mendalam,
perlawanan pasif saja tidak pernah akan efektif. Alih-alih,
ide ini harus ditumbangkan secara agresif; kalau tidak, tidak
akan ada sesuatu yang baru dan lebih menarik akan pernah
muncul. Itulah sebabnya, saya rasa Gereja Kristen pada dewasa
ini membutuhkan suatu reformasi yang baru dan kuat yang tidak
boleh berhenti sampai semua doktrin inti yang paling dasar
dari iman Kristiani dikaji ulang dan dirumuskan kembali.
Reformasi pada abad ke-16 tidak sampai pada tugas ini, dan
secara retrospektif, hanya membuat perubahan-perubahan
kosmetik belaka. Reformasi baru ini harus mengguncangkan
dasar-dasar pemikiran Kristiani itu sendiri. Mau tidak mau hal
itu akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan besar di kalangan
religius konservatif, dan akan menimbulkan amarah yang selalu
muncul bila suatu ancaman terakhir dilancarkan terhadap suatu
sistem kepercayaan yang sedang sekarat. Tetapi bagaimana pun
juga kita harus menyambutnya, karena ia menyajikan
satu-satunya kesempatan bagi iman nenek-moyang kita untuk
tetap hidup menjadi iman anak-cucu kita.
Paham tentang kematian Yesus sebagai kurban bagi dosa-dosa
dunia, menurut pendapat saya, mewakili teologi keliru yang
didesain untuk mengakomodasikan antropologi keliru yang
menjadi dasarnya. Kehidupan manusia bukanlah diciptakan
sebagai sesuatu yang baik yang kemudian jatuh ke dalam dosa,
dan mengharuskan penyelamatan ilahi yang berpuncak di kayu
salib di Kalvari, sebagaimana dikemukakan oleh mitos Kristiani
tradisional. Alih-alih, kehidupan manusia telah berkembang
melalui jutaan tahun sejarah evolusioner, yang tidak saja
menghasilkan manusia yang tidak lengkap, melainkan juga
terdistorsi oleh perjuangan untuk mempertahankan diri
[survival]. Kita bukanlah malaikat yang jatuh, melainkan
makhluk yang muncul dan berkembang. Kita adalah suatu karya
yang tengah berlangsung, yang terus-menerus menjadi korban
hakikat kemanusiaan kita yang belum tuntas. Oleh karena itu,
kita tidak dapat diselamatkan dengan suatu kurban kematian
dari seorang yang memanjatkan persembahan sempurna kepada
suatu Ilah yang marah, kurban yang didesain untuk
mengembalikan kita kepada sesuatu yang tidak pernah kita
alami. Alih-alih, kita harus terpanggil oleh rahmat cinta
untuk berjalan menuju taraf kesadaran lebih tinggi, suatu
kemanusiaan yang baru dan lebih lengkap. Sosok Juru Selamat
bagi kita tidak mungkin seorang yang membayar harga dosa-dosa
kehidupan kita. Alih-alih, sosok Juru Selamat bagi pemahaman
kita atas kemanusiaan haruslah seorang yang mampu
memberdayakan kita untuk berkembang mengatasi keterbatasan
diri kita, untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan
yang mendistorsikan, dari prejudis-prejudis kita yang
membutakan dan stereotipe-stereotipe kita yang mematikan, dan
membawa kita ke suatu tempat yang di situ kita menemukan
kemerdekaan untuk memberikan hidup kita dalam cinta kepada
orang lain. Pertanyaan teologis terakhir yang mendorong
reformasi baru ini adalah: apakah kita mampu menanggalkan dari
Yesus penjelasan interpretatif tradisionalnya tanpa
menghilangkan pengalaman yang dimiliki manusia tentang Yesus
ini, yang membuat mereka berseru bahwa di dalam dia kesucian
Tuhan telah dialami.
Untuk melakukan ini, kita harus mengesampingkan kerangka
mitologis yang telah memerangkap Yesus. Kelahiran dari perawan
dan kenaikan kosmik harus dilihat sebagai sekadar bahasa
interpretatif pra-modern. Berjalan di atas air dan memberi
makan 5000 orang dengan lima potong roti tidak mungkin
merupakan kisah nyata. Kebangkitan kembali yang dipahami
sebagai resusitasi fisikal harus dilihat sebagai tradisi yang
berkembang belakangan. Tetapi sekali kerangka mitologis ini
dihilangkan, Yesus tidak lenyap atau menjadi sekadar guru yang
baik, seperti yang ditakutkan oleh banyak orang. Alih-alih,
malah muncul suatu sosok Yesus sebagai saluran transendensi,
sosok manusia yang menyatu dengan sumber hidup, pengungkap
sumber cinta, suatu makhluk baru yang membuat gamblang
Landasan Semua Keberadaan [The Ground of All Being]. Ia adalah
suatu kehadiran Ilahi, bukan suatu manusia-ilahi mitologis;
suatu manusia yang lengkap, yang menjadi kehidupan yang
melaluinya kuasa sepenuhnya dari realitas keilahian Tuhan
dapat muncul dalam sejarah manusia.
Alih-alih melihat kepada mukjizat-mukjizat yang ditafsirkan
secara harfiah, kita harus mulai melihat kepada sosok manusia
yang keutuhannya memanggil murid-muridnya untuk melampaui
batas-batas identitas kesukuan mereka. Orang Yahudi, yang
berpikir bahwa orang non-Yahudi [Gentiles] tidak pantas
dianggap sebagai manusia yang boleh diakrabi dalam relasi,
didorong oleh kenyataan sosok Yesus untuk pergi ke dunia
non-Yahudi itu untuk memberitakan Injil, dan mereka
melakukannya. Kaum agama yang ketat yang yakin bahwa kaum
Samaritan, yang menjadi sasaran prejudis mereka, ditolak oleh
Tuhan dan oleh karena itu pantas ditolak oleh mereka, diubah
oleh Yesus. Ia mengajarkan kepada mereka, bahwa bila kaum
Samaritan memenuhi panggilan Taurat untuk memberikan kasih
sayang dan mempedulikan orang, mereka adalah anak-anak Ibrahim
yang lebih sempurna daripada seorang ahli agama dan seorang
Levi yang tega untuk melewati korban kehidupan di sisi jalan.
Orang yang berpegang teguh pada aturan-aturan mana yang halal
dan mana yang haram harus berhadapan dengan Yesus yang memeluk
penderita kusta, membiarkan sentuhan perempuan yang sedang
haid, dan menolak menghakimi orang yang dituduh berzina.
Tuhan memang ada di dalam diri Kristus ini. Itulah pengalaman
yang menyeruak dan perlu dijelaskan. Namun penjelasan historis
telah dikemas dalam asumsi-asumsi yang tidak lagi bisa kita
terima. Asumsi-asumsi ini dibentuk oleh suatu pandangan-dunia
yang tidak lagi kita anut. Mereka mencerminkan pemahaman akan
realitas yang tidak lagi kita miliki dan suatu tradisi
pemujaan yang asing bagi tradisi kita sendiri.
Orang Kristen-Yahudi abad pertama memahami kematian Yesus
menurut analogi domba Paskah, yang disembelih untuk mematahkan
kuasa maut. Kemudian mereka memahami dia sebagai domba baru
dari Yom Kippur, yang dikurbankan untuk menebus dosa-dosa
dunia. Mereka menganyam di seputar Yesus simbol-simbol
liturgis kuno, tetapi tidak satu pun dari simbol-simbol ini
akan efektif bagi kita. Sebaliknya, mereka malah mendorong
orang untuk menjauh. Oleh karena itu, kita harus bersiap-siap
untuk mengesampingkannya, untuk memperlakukannya sebagai
terbatas, dan yang pada akhirnya malah menyesatkan. Yesus
tidak mati untuk dosa-dosa kita! Yesus bukan kurban yang
dipanjatkan kepada Tuhan untuk mengatasi kejatuhan yang tidak
pernah terjadi.
Kita adalah makhluk yang muncul naik ke atas, bukan makhluk
yang jatuh. Yesus bukan perwujudan dari ilah teistik yang
mengunjungi planit ini dengan menyaru sebagai manusia selama
30 tahun. Yesus adalah manusia, yang di dalamnya Tuhan yang
bersemayam di lubuk dasar kehidupan, muncul dalam sejarah
manusia dengan cara baru yang dramatis dan lengkap. Tugas bagi
reformasi baru adalah membebaskan Yesus dari bahan-bahan yang
mendistorsikan ini dan menampilkannya kembali dalam
gambaran-gambaran baru. Tetapi kita tidak boleh kehilangan
pengalaman ini. Tuhan ada di dalam Kristus. Kuasa kehidupan
yang transenden, pancuran cinta yang abadi, Landasan Semua
Keberadaan [Ground of All Being] yang tak terperikan yang
meletup dalam kemanusiaannya yang utuh dan merdeka untuk
memanggil kita ke dalam suatu kesadaran baru. Panggilan
Kristus adalah panggilan untuk berjalan mengatasi keterbatasan
evolusioner yang ditetapkan oleh upaya untuk mempertahankan
diri. Roh Kudus Tuhan yang secara mencolok hadir di dalam
Yesus --sehingga orang bilang Roh Kudus-lah yang
mengandungnya-- tetap merupakan rahmatnya bagi kita
masing-masing.
Kita yang ada di dalam Kristus dapat --seperti Kristus--
menjadi pendukung Tuhan di lingkungan kita, inkarnasi-
inkarnasi baru dari kehadiran ilahi yang abadi. Kita dapat
mengungkapkan sumber hidup dan cinta, yang memanggil kita dan
orang lain ke dalam kepenuhan keberadaan kita. Inilah jalan
yang melaluinya kita bisa bicara tentang Kristus dalam zaman
kita, dan kemarilah reformasi yang akan datang dapat membawa
kita. Bagi Gereja Kristen, melekat pada rumusan-rumusan
harfiah dari masa lampau berarti tidak kurang dari menempuh
jalan kematian. Melepaskan rumusan-rumusan itu untuk memasuki
pengalaman Kristus secara baru adalah harapan untuk masa
depan.
Saya berdoa untuk tibanya reformasi ini, sekalipun saya
menyadari bahwa bagi banyak orang ini akan tampak sebagai
penghancuran apa yang mereka pikir sebagai iman Kristiani.
Kita tidak boleh takut akan itu, oleh karena ia akan membawa
kita kepada pembaruan dan kebangkitan kembali dan memberi kita
kemampuan untuk menyanyikan kidung Tuhan dalam milenium
ketiga.***
Duabelas Tesis untuk diperdebatkan, yang diambil dari buku
saya "Why Christianity Must Change or Die", saya tidak mengira
betapa hebat responsnya. Perdebatan itu disambut dan dikutuk,
diikuti dan dihindari oleh orang tak terhitung banyaknya.
Tesis-tesis itu dikhotbahkan secara positif dan secara negatif
di keuskupan ini, di Katedral St. Paul di London, di
Australia, Kanada, Afrika Selatan dan Selandia Baru. Respons
paling emosional adalah terhadap Tesis No.6, yang berkaitan
dengan penafsiran terhadap kayu salib dan peranan Yesus dalam
drama keselamatan, yang di situ saya mempertanyakan
keadekuatan kalimat: "Yesus mati untuk dosa-dosaku."
Kalimat itu begitu sering digunakan dalam sejarah Kristiani
sehingga menjadi seperti mantra. Maksudnya, diulang-ulang
tanpa penjelasan, seolah-olah maknanya sudah jelas dengan
sendirinya. Tidak boleh dipertanyakan atau diperdebatkan.
Sekadar dikemukakan berulang-ulang tanpa henti. Perayaan
Ekaristi didasarkan padanya; banyak lagu-lagu pujian kita
mencerminkannya. Namun, bagi alam pikiran modern, jika
dianalisis, kalimat ini hampir tidak ada artinya sama sekali.
Kadang-kadang kalimat keramat ini diperluas hingga mencakup
apa yang hanya dapat digambarkan sebagai fetisisme terhadap
darah yang ditumpahkan Yesus di kayu salib.
Kuasa yang luar biasa telah dikenakan kepada darah "suci" itu.
Orang Kristen sampai bicara tentang efek penyucian dari
siraman darah itu. Sebuah lagu pujian yang saya alami dua kali
selama Minggu Suci menyatakan "God on Thee Has Bled" ["Tuhan
Menumpahkan Darah Atasmu"]. Kematian Yesus dikatakan merupakan
sesuatu yang dituntut oleh Tuhan: suatu tebusan, suatu kurban
yang dipanjatkan kepada Tuhan, suatu pembayaran yang dituntut
oleh Tuhan bagi dosa-dosa dunia, harga yang harus dibayar
untuk memperoleh penebusan, yang adalah pengalaman bersatu
dengan Tuhan. Dalam penelitian saya, saya menyimpulkan bahwa
bahasa ini --"Yesus mati demi dosa-dosaku"-- adalah distorsi
penuh-kekerasan dari makna Yesus. Paham itu memberikan kepada
saya suatu Tuhan yang sadistis dan haus darah. Suatu Tuhan
yang kehendaknya harus dipenuhi dengan pengurbanan manusia
bukanlah Tuhan yang kepadanya hati saya tergerak untuk memuja.
Itu paham yang sangat buruk. Lagipula, konsep ini menjadi
begitu normatif di dalam pengajaran iman kita, sehingga banyak
orang merasa, jika paham tentang "karya penebusan" Yesus ini
tidak diterima, maka tidak ada lagi yang tersisa dari
Kristianitas.
Namun, saya yakin, justru kebalikannya yang benar. Bagi saya
jelas, kalau kita tidak mengekspos kualitas barbar dari
tafsiran kuno terhadap makna kematian Yesus dan terhadap Tuhan
yang dikatakan menuntutnya, dan menghapuskan keburukan
spiritual ini dari kehidupan Judeo-Kristiani, maka
Kristianitas tidak punya masa depan. Saya tidak percaya,
manusia modern akan tertarik kepada suatu Tuhan yang
kehendaknya harus dipenuhi dengan kurban manusia Yesus di kayu
salib. Jika Kristianitas menuntut paham tentang makna kematian
Yesus ini, saya tidak akan menganut iman ini lagi. Tetapi oleh
karena sifatnya yang telah tertanam secara mendalam,
perlawanan pasif saja tidak pernah akan efektif. Alih-alih,
ide ini harus ditumbangkan secara agresif; kalau tidak, tidak
akan ada sesuatu yang baru dan lebih menarik akan pernah
muncul. Itulah sebabnya, saya rasa Gereja Kristen pada dewasa
ini membutuhkan suatu reformasi yang baru dan kuat yang tidak
boleh berhenti sampai semua doktrin inti yang paling dasar
dari iman Kristiani dikaji ulang dan dirumuskan kembali.
Reformasi pada abad ke-16 tidak sampai pada tugas ini, dan
secara retrospektif, hanya membuat perubahan-perubahan
kosmetik belaka. Reformasi baru ini harus mengguncangkan
dasar-dasar pemikiran Kristiani itu sendiri. Mau tidak mau hal
itu akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan besar di kalangan
religius konservatif, dan akan menimbulkan amarah yang selalu
muncul bila suatu ancaman terakhir dilancarkan terhadap suatu
sistem kepercayaan yang sedang sekarat. Tetapi bagaimana pun
juga kita harus menyambutnya, karena ia menyajikan
satu-satunya kesempatan bagi iman nenek-moyang kita untuk
tetap hidup menjadi iman anak-cucu kita.
Paham tentang kematian Yesus sebagai kurban bagi dosa-dosa
dunia, menurut pendapat saya, mewakili teologi keliru yang
didesain untuk mengakomodasikan antropologi keliru yang
menjadi dasarnya. Kehidupan manusia bukanlah diciptakan
sebagai sesuatu yang baik yang kemudian jatuh ke dalam dosa,
dan mengharuskan penyelamatan ilahi yang berpuncak di kayu
salib di Kalvari, sebagaimana dikemukakan oleh mitos Kristiani
tradisional. Alih-alih, kehidupan manusia telah berkembang
melalui jutaan tahun sejarah evolusioner, yang tidak saja
menghasilkan manusia yang tidak lengkap, melainkan juga
terdistorsi oleh perjuangan untuk mempertahankan diri
[survival]. Kita bukanlah malaikat yang jatuh, melainkan
makhluk yang muncul dan berkembang. Kita adalah suatu karya
yang tengah berlangsung, yang terus-menerus menjadi korban
hakikat kemanusiaan kita yang belum tuntas. Oleh karena itu,
kita tidak dapat diselamatkan dengan suatu kurban kematian
dari seorang yang memanjatkan persembahan sempurna kepada
suatu Ilah yang marah, kurban yang didesain untuk
mengembalikan kita kepada sesuatu yang tidak pernah kita
alami. Alih-alih, kita harus terpanggil oleh rahmat cinta
untuk berjalan menuju taraf kesadaran lebih tinggi, suatu
kemanusiaan yang baru dan lebih lengkap. Sosok Juru Selamat
bagi kita tidak mungkin seorang yang membayar harga dosa-dosa
kehidupan kita. Alih-alih, sosok Juru Selamat bagi pemahaman
kita atas kemanusiaan haruslah seorang yang mampu
memberdayakan kita untuk berkembang mengatasi keterbatasan
diri kita, untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan
yang mendistorsikan, dari prejudis-prejudis kita yang
membutakan dan stereotipe-stereotipe kita yang mematikan, dan
membawa kita ke suatu tempat yang di situ kita menemukan
kemerdekaan untuk memberikan hidup kita dalam cinta kepada
orang lain. Pertanyaan teologis terakhir yang mendorong
reformasi baru ini adalah: apakah kita mampu menanggalkan dari
Yesus penjelasan interpretatif tradisionalnya tanpa
menghilangkan pengalaman yang dimiliki manusia tentang Yesus
ini, yang membuat mereka berseru bahwa di dalam dia kesucian
Tuhan telah dialami.
Untuk melakukan ini, kita harus mengesampingkan kerangka
mitologis yang telah memerangkap Yesus. Kelahiran dari perawan
dan kenaikan kosmik harus dilihat sebagai sekadar bahasa
interpretatif pra-modern. Berjalan di atas air dan memberi
makan 5000 orang dengan lima potong roti tidak mungkin
merupakan kisah nyata. Kebangkitan kembali yang dipahami
sebagai resusitasi fisikal harus dilihat sebagai tradisi yang
berkembang belakangan. Tetapi sekali kerangka mitologis ini
dihilangkan, Yesus tidak lenyap atau menjadi sekadar guru yang
baik, seperti yang ditakutkan oleh banyak orang. Alih-alih,
malah muncul suatu sosok Yesus sebagai saluran transendensi,
sosok manusia yang menyatu dengan sumber hidup, pengungkap
sumber cinta, suatu makhluk baru yang membuat gamblang
Landasan Semua Keberadaan [The Ground of All Being]. Ia adalah
suatu kehadiran Ilahi, bukan suatu manusia-ilahi mitologis;
suatu manusia yang lengkap, yang menjadi kehidupan yang
melaluinya kuasa sepenuhnya dari realitas keilahian Tuhan
dapat muncul dalam sejarah manusia.
Alih-alih melihat kepada mukjizat-mukjizat yang ditafsirkan
secara harfiah, kita harus mulai melihat kepada sosok manusia
yang keutuhannya memanggil murid-muridnya untuk melampaui
batas-batas identitas kesukuan mereka. Orang Yahudi, yang
berpikir bahwa orang non-Yahudi [Gentiles] tidak pantas
dianggap sebagai manusia yang boleh diakrabi dalam relasi,
didorong oleh kenyataan sosok Yesus untuk pergi ke dunia
non-Yahudi itu untuk memberitakan Injil, dan mereka
melakukannya. Kaum agama yang ketat yang yakin bahwa kaum
Samaritan, yang menjadi sasaran prejudis mereka, ditolak oleh
Tuhan dan oleh karena itu pantas ditolak oleh mereka, diubah
oleh Yesus. Ia mengajarkan kepada mereka, bahwa bila kaum
Samaritan memenuhi panggilan Taurat untuk memberikan kasih
sayang dan mempedulikan orang, mereka adalah anak-anak Ibrahim
yang lebih sempurna daripada seorang ahli agama dan seorang
Levi yang tega untuk melewati korban kehidupan di sisi jalan.
Orang yang berpegang teguh pada aturan-aturan mana yang halal
dan mana yang haram harus berhadapan dengan Yesus yang memeluk
penderita kusta, membiarkan sentuhan perempuan yang sedang
haid, dan menolak menghakimi orang yang dituduh berzina.
Tuhan memang ada di dalam diri Kristus ini. Itulah pengalaman
yang menyeruak dan perlu dijelaskan. Namun penjelasan historis
telah dikemas dalam asumsi-asumsi yang tidak lagi bisa kita
terima. Asumsi-asumsi ini dibentuk oleh suatu pandangan-dunia
yang tidak lagi kita anut. Mereka mencerminkan pemahaman akan
realitas yang tidak lagi kita miliki dan suatu tradisi
pemujaan yang asing bagi tradisi kita sendiri.
Orang Kristen-Yahudi abad pertama memahami kematian Yesus
menurut analogi domba Paskah, yang disembelih untuk mematahkan
kuasa maut. Kemudian mereka memahami dia sebagai domba baru
dari Yom Kippur, yang dikurbankan untuk menebus dosa-dosa
dunia. Mereka menganyam di seputar Yesus simbol-simbol
liturgis kuno, tetapi tidak satu pun dari simbol-simbol ini
akan efektif bagi kita. Sebaliknya, mereka malah mendorong
orang untuk menjauh. Oleh karena itu, kita harus bersiap-siap
untuk mengesampingkannya, untuk memperlakukannya sebagai
terbatas, dan yang pada akhirnya malah menyesatkan. Yesus
tidak mati untuk dosa-dosa kita! Yesus bukan kurban yang
dipanjatkan kepada Tuhan untuk mengatasi kejatuhan yang tidak
pernah terjadi.
Kita adalah makhluk yang muncul naik ke atas, bukan makhluk
yang jatuh. Yesus bukan perwujudan dari ilah teistik yang
mengunjungi planit ini dengan menyaru sebagai manusia selama
30 tahun. Yesus adalah manusia, yang di dalamnya Tuhan yang
bersemayam di lubuk dasar kehidupan, muncul dalam sejarah
manusia dengan cara baru yang dramatis dan lengkap. Tugas bagi
reformasi baru adalah membebaskan Yesus dari bahan-bahan yang
mendistorsikan ini dan menampilkannya kembali dalam
gambaran-gambaran baru. Tetapi kita tidak boleh kehilangan
pengalaman ini. Tuhan ada di dalam Kristus. Kuasa kehidupan
yang transenden, pancuran cinta yang abadi, Landasan Semua
Keberadaan [Ground of All Being] yang tak terperikan yang
meletup dalam kemanusiaannya yang utuh dan merdeka untuk
memanggil kita ke dalam suatu kesadaran baru. Panggilan
Kristus adalah panggilan untuk berjalan mengatasi keterbatasan
evolusioner yang ditetapkan oleh upaya untuk mempertahankan
diri. Roh Kudus Tuhan yang secara mencolok hadir di dalam
Yesus --sehingga orang bilang Roh Kudus-lah yang
mengandungnya-- tetap merupakan rahmatnya bagi kita
masing-masing.
Kita yang ada di dalam Kristus dapat --seperti Kristus--
menjadi pendukung Tuhan di lingkungan kita, inkarnasi-
inkarnasi baru dari kehadiran ilahi yang abadi. Kita dapat
mengungkapkan sumber hidup dan cinta, yang memanggil kita dan
orang lain ke dalam kepenuhan keberadaan kita. Inilah jalan
yang melaluinya kita bisa bicara tentang Kristus dalam zaman
kita, dan kemarilah reformasi yang akan datang dapat membawa
kita. Bagi Gereja Kristen, melekat pada rumusan-rumusan
harfiah dari masa lampau berarti tidak kurang dari menempuh
jalan kematian. Melepaskan rumusan-rumusan itu untuk memasuki
pengalaman Kristus secara baru adalah harapan untuk masa
depan.
Saya berdoa untuk tibanya reformasi ini, sekalipun saya
menyadari bahwa bagi banyak orang ini akan tampak sebagai
penghancuran apa yang mereka pikir sebagai iman Kristiani.
Kita tidak boleh takut akan itu, oleh karena ia akan membawa
kita kepada pembaruan dan kebangkitan kembali dan memberi kita
kemampuan untuk menyanyikan kidung Tuhan dalam milenium
ketiga.***
----------
[1] Tesis No.6 dari Dua-Belas Tesis: Seruan untuk Reformasi Baru.
Dari: http://www.dfms.org/newark/vox30599.html#voice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar