Kamis, 23 September 2010

Teolog dan Kisah Asmaranya


Bila di Blog APT saya baru memulai tulisan berseri tentang teolog-teolog terkenal dan magnum opus-nya, maka di blog sendiri saya tertarik mengangkat ke permukaan kisah-kisah asmaranya yang sebelumnya tidak pernah di sentuh oleh mahasiswa-mahasiswa teologi. Mungkin beredar pemikiran di kalangan mereka, wong..untuk urusan asmara pribadi saja dilarang pihak kampus, ngapain repot-repot mikirin asmara orang lain.



Pemikiran itu benar di satu sisi, namun belum tentu untuk sisi lainnya. Karena bagaimanapun juga, asmara disadari atau tidak berpengaruh terhadap pembentukan teologi, pemikiran dan karakter seseorang. Pembentukan frame-work teologi tidak saja karena transfer ilmu dari dosen, buku-buku teologi macam Millard Erickson atau Wayne Grudem, diskusi/debat, keprihatinan terhadap sosial budaya namun juga dari romantika percintaan.

Sedikit banyak saya juga pernah mengalami gejolak yang sama ketika masih kuliah. Ketika ’menembak’ sang pujaan dan menerima jawaban ”aku pun begitu”, sorga dan kehadiran-Nya terasa dekat. Baru kali itu rasa-rasanya Tuhan memberikan jawaban doa yang paling maknyuss. Kalo mengutip Paulus ”...seperti naik ke langit tingkat 3.” Konsep "Adonai Jireh" begitu terang benderang di otak saya. Namun ketika kata ”sampai di sini saja” tak terelakkan; saya terluka, teraniaya, paling menderita dibanding pasien yang paling sekarat di puskesmas kecamatan. Rasa-rasanya Tuhan, malaikat-malaikat, orang-orang kudus dan iblis memusuhi saya sekaligus. Kalo sudah begitu konsep "Tribulasi" yang lebih cocok dengan pemikiran saya. Tapi sekian dulu kisah saya (berhubung belum jadi teolog yang kesohor), lebih baik kita simak kisah teolog yang lain saja, seperti di bawah ini:

Kisah asmara Soren Kierkegaard dan Regine Olsen

Kierkegaard (1813-1855) adalah filsuf, teolog. psikolog dan penulis dari Denmark, disebut-sebut sebagai mbah’e Filsafat Eksistensialis. Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904). Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu pula dengan Regine. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menulis tentang cintanya kepada Regine:

“Engkau ratu hatiku yang tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, dalam kepenuhan pikiranku, di sana ... ilahi yang tak dikenal! Oh, dapatkah aku sungguh-sungguh mempercayai dongeng-dongeng si penyair, bahwa ketika seseorang melihat sebuah obyek cintanya, ia membayangkan bahwa ia sudah pernah melihatnya dahulu kala, bahwa semua cinta seperti halnya semua pengetahuan adalah kenangan semata, bahwa cinta pun mempunyai nubuat-nubuatnya di dalam diri pribadi. ... tampaknya bagiku bahwa aku harus memiliki kecantikan dari semua gadis agar dapat menandingi kecantikanmu; bahwa aku harus mengelilingi dunia untuk menemukan tempat yang tidak kumiliki dan yang merupakan misteri terdalam dari keseluruhan keberadaanku yang mengarah ke depan, dan pada saat berikutnya engkau begitu dekat kepadaku, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku berubah (transfigured) bagi diriku sendiri, dan merasakan sungguh nikmat berada di sini.”
—Søren Kierkegaard, Journals[5] (2 Februari 1839)

Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun setelah pertunangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat "melankolis"nya membuatnya tidak cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap tidak jelas. Padahal diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka (jangan dikacaukan dengan filsuf Jerman Friedrich von Schlegel [1772-1829] ).

Pada umumnya hubungan mereka terbatas pada pertemuan-pertemuan kebetulan di jalan-jalan di Kopenhagen. Namun, beberapa tahun kemudian, Kierkegaard bahkan sampai meminta izin suami Regine untuk berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolak. Tak lama kemudian, pasangan itu berangkat meninggalkan Denmark, karena Schlegel telah diangkat menjadi Gubernur di Hindia Barat Denmark. Pada saat Regine kembali ke Denmark, Kierkegaard telah meninggal dunia. Regine Schlegel hidup hingga 1904, dan pada saat kematiannya, ia dikuburkan dekat Kierkegaard di Pemakaman Assistens di Kopenhagen.

Ada sejumlah pengamat mencoba menjelaskan motif dibalik putusnya pertunangan tersebut, dan ditengarai karena pembacaan Kierkegaard terhadap kisah Abraham dan Ishak (hal ini dijelaskan dalam bukunya Fear and Trembling) yang mempengaruhi perspektifnya tentang Regine dan rencana pernikahannya. Kierkegaard meyakini bila ia mau mengorbankan orang yang sangat dikasihinya sebagai tindakan iman, Allah akan mengembalikan Regine kepadanya di saat-saat akhir. Namun akhirnya Kierkegaard ’kecele’ karena akhirnya Regine pindah ke lain hati dan menikah dengan orang lain.
Buku-buku yang ditulis oleh Kierkegaard berdasar efek putusnya pertunangan mereka:
1. Either/Or
2. The Seducer’s Diary
3. Stages on Life’s Way

Saya agak bingung untuk membayangkan bagaimana Regine begitu menguasai pemikiran Kierkegaard dan bagaimana Kierkegaard justru produktif di dalam menuangkan segala ’rasa’nya di dalam tulisan.

Namun satu saja pelajaran yang saya dapatkan dari kisah ini: jangan pernah melepaskan punai di tangan, untuk menggapai burung di udara. Jangan pernah menyerahkan kekasih anda kepada orang lain. Anda setuju??

1 komentar:

  1. Setuju deh pak, sayangnya pecaran aja belom pernah, mana mungkin saya menyerahkan kekasih saya pada org lain, hahaha... Pak, coba follow blog saya ya, memang saat ini belum ada apa2, tapi nanti kalo ada gerakan Roh Kudus, saya coba tuk menulis sesuatu... Thanks, GBU!

    http://hanatadaniel.blogspot.com

    BalasHapus