Jumat, 17 September 2010

Teologi Rokok (Versi Puisi)


Di dunia selalu terdapat 2 pandangan yang saling bertentangan. Sebenarnya sih ada 3, tapi yang terakhir ini cuma jadi penonton doang. Engga ya engga tidak, netral, cari aman bahkan mungkin mengintai kesempatan dalam kesempitan. Mana yang menguntungkan, itulah yang dibelanya. Inkonsisten kata orang Barat. Namun berbahagialah bagi mereka yang punya prinsip.

Di kalangan gereja juga ada pertentangan apakah merokok itu boleh atau tidak? Bagi kalangan Pentakosta hukumnya haram (meminjam istilah teologi Arab), sementara golongan non Pentakosta tidak terlalu dipermasalahkan. Debat mengenai hal ini bisa membuat saraf kaku dan tekanan darah selalu ‘gigi lima’ apalagi sampai mengobrak-abrik ayat-ayat Alkitab.



Namun tenang saja, saya tidak mau berpolemik tentang teologi rokok, apalagi sampai mengeluarkan jurus-jurus eksegesis, meninjau dari kultur Yahudi/Yunani atau meneropong dari sisi sejarah Gereja, bahkan dari perspektif hidup yang dipenuhi Roh. Tidak..tidak..itu terlalu berat untuk blog ini, tentunya merepotkan saya juga. Saya cuma ingin memposting hal yang ringan, namun anda bisa merefleksikan sendiri sedalam yang anda mau.

Saya menampilkan debat dalam bentuk puisi (hal baru bagi kita). Tapi berhubung saya tidak ahli berpuisi (setidaknya demikian kata guru bahasa ketika saya masih SD) maka saya meminjam karya orang lain yang lebih diakui kepakarannya. Untuk itu tulisan ini berhutang kepada kedua penulis: pertama Tuan Malam (demikian namanya di blogspot) dan sastrawan Taufik Ismail. Mereka merepresentasikan 2 pihak yang pro dan kontra terhadap rokok dalam bentuk puisi. Tuan malam pihak yang pro; bung Taufiq pihak yang kontra. Berhubung mereka menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam dunia keagamaan, maka cocoklah bila debat ini disebut Teologi Rokok versi Puisi. Silahkan menikmati goyangan pena mereka.


Aku tadi merokok, Tuhan (by Tuan Malam)

Aku tadi merokok, Tuhan
kata seorang teman gerejaku itu dosa
itu merusak Bait Allah
tapi teman gerejaku itu hobi makan anjing dan babi
sampai kolesterolnya tinggi sekali
masuk rumah sakit karenanya
jadi, Bait Allahnya rusak sekali

Aku tadi merokok, Tuhan
tapi tidak kecanduan kok
hanya mengisapnya sesekali
ditemani buku yang indah sekali
sehingga malam mingguku yang sepi
jadi sedikit berseri

Aku tadi merokok, Tuhan
dan waktu merokok ingin minum bir
kata temanku itu juga dosa
padahal aku tidak mabuk
bahkan tidak pernah mabuk
hanya ingin menghangatkan badan
pada malam di kota Malang yang sejuk

Aku tadi merokok, Tuhan
dan mendengarkan musik rock
temanku bilang lagi-lagi itu dosa
padahal musik itu membangkitkan semangat
dan mengusir kepedihan hati

Aku tadi merokok, Tuhan
bolehkah aku besok tetap ke gereja?
aku takut diusir temanku
yang gendutnya mirip babi itu

tapi kalau aku diusir
ya tidak apa-apalah, Tuhan
mungkin aku akan ke warkop lagi
nyumet rokok, membuka Firmanmu
dan merenungkannya
bersama iringan musik rock
dan ditemani sekaleng bir dingin

Malang, 16 Januari 2010


Tuhan Sembilan Senti
(by Taufiq Ismail)

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tidak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
dipekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidu-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe, di diskotik pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter,
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan
HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.

Duduk kita di sebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau
stop-an bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-‘ ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh dengan cueknya, pakai dasi orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba
yuhaasibu,
hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
Sembilan senti panjangnya, putih warnanya,
kemana-mana di bawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ ut tadkhiin ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’ atun bi mukayyafi al hawwa’ i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu alayhimul khabaaith.

Mohon ini direnungkan tenang-tenang karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alcohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok lantas hukumnya jadi di makruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini,
banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.

Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih gawat ketimbang bencana banjir gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhal-berhala kecil itu sangat berkuasa di negeri kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

1 komentar:

  1. Keren pak yang punya Taufiq, kata-katanya apa adanya, Goblok pun gak di sensor... Emang bener, orang yg ngerokok itu kayak orang dungu, udah tahu bahaya tetep dilakukan, tapi org2 Kristen yang ngelarang org ngerokok sedangkan dia sndiri Kolesterolnya tinggi ya sama aja, malah lebih parah karena main hakimi orang lain... Jadi, Pak Tuan dan Pak Taufiq benar semua dua-duanya, masalahnya, jangan cuman komentar dan kritikan yg mereka tonjolkan, tapi apa solusinya?

    BalasHapus